Pengulanganperkawinan sebenarnya tidak diatur dalam Undang-Undang, sebagaimana ditunjukkan dalam pasal 53 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut hukum Islam
AL-QURAN ; WAHYU DAN KALAM ALLAH Makalah Disampaikan dalam forum seminar kelas Mata Kuliah PDPI I Oleh Syakkar Lakka NIM Dosen Pembimbing PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA UMI-MAKASSAR 2004 AL-QUR’AN WAHYU DAN KALAM ALLAH Oleh H. Abu Syakkar Lakka I. PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Al-Quran adalah kalamullah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril dan disampaikan kepada ummat manusia untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan di dunia ini. Al-Quran yang dikenal nama al-Kitab[1], di dalamnya terdapat berbagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa dan tidak diragukan kebenerannya.[2] Dan juga di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat mengenai keimanan, ketaqwaan, keadilan, kearifan dan sebagainya, selain itu terdapat pula ayat yang menyangkut masalah kekafiran, kefasikan, kedhaliman, kemunafikan dan kedurhakaan dan sebagainya. Allah swt, menamai kitab yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw. untuk disampaikan kepada seluruh ummat manusia, dengan beberapa nama. Di antaranya yang popular, ialah al-Kitab dan al-Quran.[3] Oleh karena itu, penulis akan membahas makalah tentang “Al-Quran ; Wahyu dan Kalam Allah”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan keterangan diatas, maka penulis mengajukan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut 1. Apa makna al-Qur’an, wahyu dan ilham ? 2. Bagaimana cara diturunkan al-Quran ? 3. Bagaimana kedudukan al-Qur’an sebagai Kalam Allah swt. ? 4. Apa nama lain al-Qur’an ? 5. Bagaimana kandungan pokok al-Qur’an ? II. PEMBAHASAN A. Pengertian al-Qur’an al-Qur’an menurut epiestimologi berakar kata dari ق – ر – أ yang mempunyai arti mengumpulkan. Sedangkan القراءة berarti ضم الحروف والكلمات بعضها الى بعض فى الترتيل Artinya Menggambarkan huruf-huruf dan kata-kata sebahagian kepada sebahagian lainnya dalam susunan/bacaan.[4] Al-Quran pada dasarnya seperti القرآن , merupakan mashdar dari قرأ قرئة قرآنا atau قرآته yang merupakan mashdar atas timbangan wazan “فُعْلاَن” [5] Abd. Al-Shabur Syahim meberikan definisi tentang al-Qur’an الْقُرْآن كَلاَ مُ اللهِ الْمُنَزِّلُ عَلَى قَلْبِ محمد صلى الله عليه و سلم بوساطة الوحي – روح القدس – منجما فى شكل آيات وسور خلال فترة الرسالة ثلاث و عشرين سنة مبدوءا بفاتحة الكتاب محفوما بسورة الناس منقولا باالتواتر المطلق برهانا معجزا على صدق رسالة الإسلام Artinya al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw dengan perantaraan wahyu melalui ruh al-Qudus Jibril yang tersusun dalam bentuk ayat-ayat dan surah-surah. Seputar patrah risalah ± 23 Tahun yang dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Naas yang diriwayatkan secara mutawatir yang merupakan mukjizat dan dalil-dalil atas kebenaran risalah Islam.[6] Al-Asy’ary yang dikutip Hasbi as-Shiddieqy, mengemukakan bahwa lafadz al-Quran diambil dari lafadz “qarana” yang berarti menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kemudian lafadz Quran itu dijadikan nama Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya. Dinamai wahyu Tuhan ini dengan al-Quran, mengingat bahwa surat-suratnya, ayat-ayatnya dan huruf-hurufnya, beriring-iringan dan yang satu digabungkan kepada yang lainnya.[7] Untuk memperoleh pengertian yang bernash bagi kalimat “Quran”, dapat diperhatikan maknanya serta cara al-Quran sendiri mempergunakan kalimat tersebut. Seperti dalam QS. al-Qiyamah75 16, 17, 18, yang berbunyi لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ Terjemahnya Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasai nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.[8] Menurut lahir makna ayat tersebut, lafadz “Quran” diartikan “bacaan”, yakni Quran ialah kalamullah yang dibaca berulang-ulang oleh manusia. Selain ayat tersebut, masih terdapat ayat-ayat memakai makna al-Quran sebagai bacaan, seperti Dalam QS al-Baqarah 2 185 Dalam QS al-Hijr 15 87 Dalam QS Thaha 20 2 Dalam QS al-Naml 27 6 Dalam QS al-Ahqaf 46 29 Dalam QS al-Waqi’ah 56 77 Dalam QS al-Hasyr 59 21 Dalam QS al-Dahr/al Insan 76 23.[9] B. Pengertian Wahyu Wahyu menurut bahasa adalah isim mashdar yang berarti sesuatu yang diwahyukan dengan maksud mengemukakan sesuatu secara sembunyi dan rahasia dan lebih umum berupa isyarat atau kitabah/tulisan atau risalah.[10] Al-Syekh Muhammad Abd. Al-Adzim al-Syarqani memberikan definisi wahyu menurut syar’I, bahwa Allah swt. memberitahukan kepada hambanya yang menjadi pilihannay segala sesuatu yang diinginkan dari berbagai macam bentuk hidayah dan ilmu dengan cara rahasia tersembunyi yang bukan kebiasaan manusia.[11] Di dalam al-Quran terdapat lafadz wahyu dan lafadz yang diambil diisytiqaq daripadanya, kira-kira tujuh puluh kali dan dipakai dengan beberapa arti. Dalam QS. Maryam ayat 11 kata wahyu dipakai dengan arti “isyarat”. Dalam QS al-An’am ayat 121 kata wahyu dipakai dengan arti “perundingan-perundingan yang jahat dan bersifat rahasia” Dalam QS an-Nahl ayat 68 kata wahyu dipakai dengan arti “ilham” yang bersifat tabiat. Dalam QS al-Qashash ayat 7, kata wahyu dipakai dengan arti “ilham” yang diberikan diilhamkan kepada selain dari Nabi Muhammad saw. dan selain dari malaikat.[12] C. Pengertian Ilham Rajab bin Ibrahim bin Abd. Al-Azis Shaqar memberikan pengertian tentang ilham, yaitu bahwa Allah mengungkapkan suatu makna tertentu ke dalam jiwa hati Nabi dengan melalui ucapanNya yang merupakan ilmu darun tidak dapat dihindari dan tidak perlu diragukan. Dengan demikian, ilham adalah merupakan ilmu pemberian yang dimaksudkan oleh Allah ke dalam jiwa secara tiba-tiba tanpa mukaddimah. Ilham adalah bahagian dari wahyu. [13] Ilham ialah menuangkan suatu pengetahuan ke dalam jiwa yang diminta supaya dikerjakan oleh yang menerimanya dengan tidak lebih dahulu dilakukan ijtihad dan menyelidiki hujjah-hujjah agama. Yang demikian itu terkadang diperoleh dengan jalan kasyaf dan terkadang diperoleh dengan tidak memakai perantaraan malaikat menurut cara yang tertentu yang Tuhan pergunakan beserta tiap-tiap maujud. Adapun wahyu, maka dia diperoleh dengan perantaraan “malak” karena itu tidak dinamai hadits-hadits Qudsi dengan wahyu, walaupun dia Kalam Allah juga.[14] D. Cara pewahyuan al-Qur’an Adapun cara-cara pewahyuan al-Qur’an adalah 1. Malaikat Ibril menampakkan dirinya kepada Rasulullah saw. dalam bentuk aslinya hal ini hanya terjadi dua kali disebabkan karena kekuatan Rasulullah sebagai manusia tidak sanggup untuk selalu melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dan ini merupakan suatu hikmah dari Allah kepada Rasulullah saw. Dalam QS. Al-Najm 13-14, Allah swt, berfirman وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى Terjemahnya Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain, yaitu di Sidratil Muntaha.[15] Diriwayatkan dari at-Tirmidzi dari Aisyah bahwasanya dia berkata rasulullah tidak melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya kecuali dua kali sewaktu di sidratul muntaha dan di jiyad suatu tempat di kota Makkah baginya Jibril 600 sayap yang menutupi ufuk.[16] 2. Malaikat Jibril datanga menyampaikan wahyu berupa bentuk seorang laki-laki kepada Nabi Muhammad saw. dengan mengucapkan kata-kata sehingga beliau mengetahui dan hafal benar kata-kata tersebut. Kadang datang kepada Rasulullah menyerupai sahabat yang ganteng namanya Dihyah al-Kalaby dan para sahabat yang hadir melihatnya dan mendengarkan perhatiannya akan tetapi para sahabat tidak mengetahuinya kalu yang datang adalah malaikat Jibril kecuali dari Rasulullah.[17] 3. Kadang datang dalam bentuk malaikat dan tidak seorangpun yang melihatnya termasuk Rasulullah saw. akan tetapi Nabi saw. mendengarkannya. Hal ini seperti gemerincingan lonceng di telinga bagi yang mendengarnya dan ini merupakan yang paling berat bagi Rasulullah saw. dalam penyampaian itu, Allah swt. telah berfirman dalam QS. 42 51, tentang cara pewahyuan al-Quran, yang berbunyi وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ Terjemahnya Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan malaikat lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [18] E. al-Qur’an sebagai Kalam Allah Sebagaimana telah diuraikan bahwa al-Quran merupakan Kalam Allah swt. yang merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah suatu ibadah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. tidak dinamakan al-Quran, seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as, Kitab Dzabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as, dan Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as., tidak dianggap sebagai ibadah apabila membacanya. Demikian pula hadits Qudsi, ia adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, tidak pula dinamai al-Quran, sehingga membacanya tidak dianggap sebagai ibadah.[19] Jadi al-Quran sebagai Kalamullah adalah suatu kitab suci yang apabila membacanya merupakan suatu ibadah F. Nama al-Qur’an 1. al-Qur’an yang berarti bacaan. Dalam Al-Qiyamah 17-18, Allah swt. berfirman sebagai berikut إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ Terjemahnya Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.[20] 2. al-Kitab yang berarti mengumpulkan, dinamakan al-Kitab karena mengandung berbagai macam jenis dari kisah-kisah, hukum-hukum dan berita secara khusus. [21] 3. al-Furqan yang berarti “pembeda”, dianamakan al-Furqan sebab membedakan antara yang baik dan bathil, muslim dan kafir dan mu’min dan munafik. 4. al-Dzikr yang berarti “peringatan” dinamakan al-Dzikr karena di dalam al-Qur’an megandung tentang peringatan, nasehat dan berita-berita umat terdahulu.[22] Di samping nama-nama tersebut yang mashur, al-Qadhi Abu al-Maak Uzaizi bin Abd. Al-Malik menyatakan bahwa Allah menamakan al-Qur’an dengan 55 nama. Antara lain adalah 1. Kalam al-Taubah 6 6. Mauidzah Yunus 57 2. Nur al-Nisaa 174 7. Karim al-Waqiah 77 3. Rahmatan Yunus 57 8. Hakim Yunus 1-2 4. Hudan Lukman 3 9. Mubarak Shad 29 5. Syifaa al-Isra’ 82 10. Dll.[23] G. Pokok-Pokok Kandungan Al-Quran Al-Quran diturunkan untuk menjadi pegangan bagi ummat manusia yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak diturunkan hanya untuk suatu ummat atau untuk satu abad, tetapi untuk seluruh ummat manusia dan untuk sepanjang masa, karena itu luas ajarannya adalah sama dengan luasnya ummat manusia. Al-Quran mengajarkan supaya manusia tetap suci, tetapi tidak dengan jalan dikebiri. Manusia harus berbakti kepada Tuhan, tetapi jangan menjadi rahib. Manusia harus berendah hati, tetapi jangan melupakan harga diri. Manusia dapat menggunakan hak-haknya, tetapi dengan tidak mengganggu hak orang lain. manusia diwajibkan menda’wahkan agama, tetapi dengan cara bijaksana.[24] Dalam QS Al-Baqarah 2 2, 3, 4 ditegaskan ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ Tewrjemahnya Kitab Al Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab Al Qur’an yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat.[25] Ayat tersebut di atas mengandung 5 perinsip, yaitu percaya kepada yang gaib, yaitu kepada Allah swt. dan kepada Malaikat-Nya. Percaya kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah. Percaya kepada adanya hari akhirat. Mendirikan sholat. Dan Menafkahkan sebagian dari rezki yang dianugerahkan kepadanya oleh Allah swt. III. PENUTUP/KESIMPULAN Setelah membahas tentang Al-Quran Wahyu dan kalam Allah, penulis dapat mengemukakan kesimpulan sebagai berikut 1. Al-Quran kalamullah yang dibaca berulang-ulang oleh manusia. 2. Wahyu adalah pemberitahuan oleh Allah swt, kepada hambanya tentang segala sesuatu yang diinginkan dari berbagai macam bentuk hidayah dan ilmu dengan cara rahasia tersembunyi yang bukan kebiasaan manusia. 3. Ilham ialah menuangkan suatu pengetahuan ke dalam jiwa yang diminta supaya dikerjakan oleh yang menerimanya dengan tidak lebih dahulu dilakukan ijtihad dan menyelidiki hujjah-hujjah agama. 4. Cara al-Quran diturunkan adalah Malaikat Jibril as a menampakkan dirinya, b berupa bentuk seorang laki-laki, c mengucapkan kata-kata sehingga beliau mengetahui dan hafal benar kata-kata tersebut, d menyerupai sahabat yang ganteng bernama Dihyah al-Kalaby. e kadang-kadang tidak seorangpun yang melihatnya termasuk Rasulullah saw. akan tetapi Nabi saw. mendengarkannya. 5. al-Qur’an sebagai Kalam Allah adalah sebagai suatu kitab suci yang apabila membacanya merupakan suatu ibadah 6. Nama-nama al-Qur’an adalah bacaan, al-Kitab, al-Furqan, al-Dzikr, 7. Pokok-Pokok Kandungan Al-Quran adalah mengajarkan supaya manusia tetap suci, tetapi tidak dengan jalan dikebiri. Manusia harus berbakti kepada Tuhan, tetapi jangan menjadi rahib. Manusia harus berendah hati, tetapi jangan melupakan harga diri. Manusia dapat menggunakan hak-haknya, tetapi dengan tidak mengganggu hak orang lain. manusia diwajibkan menda’wahkan agama, tetapi dengan cara bijaksana. DAFTAR PUSTAKA Calonyang akan dipilih akan selalu berusaha menampilkan yang baik-baik dan indah-indah. Tapi setelah beberapa lama berkeluarga baru diketahui watak asli masing-masing. pemenangnya adalah partai lain yang selama ini tak pernah muncul di sana. Perjuangan kami selama 3 tahun menjadi sia-sia. Hanya bisik-bisik dari mulut ke mulut yang bisaKata Qur’an berasal dari lafaz قَرَنَ yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Pendapat tersebut menurut …. Subkhi Salih Imam Asy-Syaf’i Syeikh Abdul Qodir Jaelani Syeikh Muhammad khudari Beik Al-Asy’ari dan beberapa golongan lain Pembahasan Kata Qur’an berasal dari lafaz قَرَنَ yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Pendapat tersebut menurut Imam Al-Asy’ari dan beberapa golongan lain Jawaban E - Jangan lupa komentar & sarannya Email nanangnurulhidayat
TALFIQ DALAM PANDANGAN ULAMAOleh Ustadz Arif Syarifudin LcDalam bahasa Arab, kata talfiq التَّلْفِيقُ berasal dari kata لَفَّقَ – يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya seperti ungkapan لَفَّقْتُ الثَّوْبَ yang artinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju pakaian/kain, satu dengan yang lain, lalu menjahitnya[1]. Dan pembahasan talfiq yang akan dibahas di sini ialah, sebagaimana banyak diperbincangkan oleh para ulama ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah bertaklid kepada madzhab-madzhab para imam mujtahid. Kami angkat berdasarkan kitab Ushul Al Fiqhi Al Islami, karya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Juz II, hlm. Talfiq Talfiq, yaitu mendatangkan suatu cara dalam ibadah atau mu’amalah yang tidak pernah dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-madzhab serta mengambil menggabungkan dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan rakitan yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun dari para imam mujtahid[2], tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun imam barunya’. Justru masing-masing imam tersebut menetapkan batilnya penggabungan dalam ibadah seseorang mentalak tiga terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya menikah dengan anak laki-laki berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil menghalalkan kembali pernikahan dengan suaminya yang pertama, pent.. Dalam hal ini, suami keduanya bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i yang mengesahkan pernikahan seperti itu, kemudian ia menggauli wanita tersebut dan lalu menceraikannya dengan bertaklid kepada madzhab Imam Ahmad yang mengesahkan jenis talak seperti itu dan tanpa melalui masa iddah, sehingga suaminya yang pertama boleh menikahinya kembali.[3]Syaikh Ali Ajhuri Asy Syafi’i memberi komentar, bahwa contoh seperti itu dilarang pada masa kami, dan hal itu tidak boleh serta tidak sah untuk diamalkan. Karena menurut madzhab Asy Syafi’i, disyaratkan yang menikahkan anak kecil harus ayah atau kakeknya, dan harus seorang yang adil, serta mesti ada kemaslahatan bagi anak tersebut dalam pernikahannya. Kemudian yang menikahkan si wanita harus walinya yang adil dengan dua saksi yang adil pula. Jika ada satu syarat tak terpenuhi, maka tidak sah tahlil tersebut, karena pernikahannya tidak Lingkup Talfiq Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam masalah-masalah ijtihadi[4] yang bersifat zhanni bukan merupakan perkara qathi’ atau pasti, pent.. Adapun setiap perkara yang ma’lum fiddin bidhdharurah prinsipil dalam agama ini, berupa perkara-perkara yang disandarkan pada hukum syar’i yang pasti, yang telah disepakati oleh kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir, maka tidak boleh ada taklid apalagi membuat talfiq di dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat mengarah kepada pembolehan penghalalan perkara yang diharamkan seperti khamr miras dan Talfiq 1. Talfiq yang Diperbolehkan Dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa yang dinyatakan oleh ulama ushul sebagai ijma’ yang melarang memunculkan pendapat ketiga, jika para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok mengenai hukum dalam suatu masalah. Jadi, kebanyakan dari mereka menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang dapat melanggar wilayah seperti masalah iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan ulama. Pertama, berpendapat bahwaiddahnya adalah dengan melahirkan kandungannya. Kedua, berpendapat bahwa iddahnya adalah masa iddah yang paling jauh dari dua masa iddah[5]. Maka tidak boleh memunculkan pendapat baru –misalnya- dengan menyatakan bahwa iddahnya adalah hanya dengan hitungan bulan 4 bulan 10 hari saja.[6]Untuk mengomentari menyanggah klaim kebatilan talfiq ini, bisa melalui dua penolakan al man’u atau peniadaan an nafyu.Metode penetapan lawannya itsbatul aks.[7]Metode Penolakan atau Peniadaan. Hal itu jelas, karena talfiq dibangun di atas pemikiran taklid yang ditetapkan oleh ulama muta`akhirin generasi akhir pada masa-masa kemunduran umat Islam dalam berijtihad, pent..Artinya talfiq ini belum dikenal tidak ada di kalangan Salaf pendahulu umat ini, tidak di masa Rasul Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak pula di masa imam-imam setelah mereka dan para muridnya. Adapun di masa Rasul Shallallahu alaihi wa sallam , maka tidak ada praktek talfiq sama sekali, karena masa itu merupakan era penyampaian wahyu yang tidak memungkinkan adanya pula di masa sahabat dan tabi’in, tidak dikenal adanya talfiq di tengah-tengah mereka. Yang ada hanyalah seseorang bertanya kepada ulama yang disukainya dari kalangan sahabat dan tabi’in, lalu ia yang ditanya memberi fatwa kepadanya tanpa mengharuskan berpegang dengan fatwanya, dan juga tanpa melarang orang penanya tersebut dari mengamalkan fatwa selainnya, padahal ia mengetahui adanya perbedaan pendapat yang banyak di antara juga di masa para empat imam atau ulama lainnya yang sudah masuk kategori ulama mujtahid, tidak ada nukilan dari mereka tentang larangan beramal dengan madzhab selainnya. Bahkan masing-masing saling mengikuti di belakang ulama yang lain, padahal setiap dari mereka mengetahui perbedaan pendapatnya dengan yang lain dalam masalah ijtihadi yang bersifat zhanni tidak pasti. Maka hal ini menunjukkan bahwa –dahulu- orang yang meminta fatwa, mengambil pendapat-pendapat para ulama dalam dua masalah atau lebih, dan tidak dikatakan bahwa dia telah melakukan talfiq, atau telah sampai pada suatu kondisi yang tidak pernah disebutkan oleh para pemberi fatwa. Hal itu hanyalah terhitung sebagai bentuk saling bercampurnya pendapat-pendapat para pemberi fatwa tersebut pada diri orang yang meminta fatwa tadi tanpa ada kesengajaan untuk mencampuradukkan antara pendapat satu dengan yang lain. Sama halnya dengan saling bercampurnya bahasa-bahasa antara satu dengan yang lain dalam bahasa Arab, selebihnya, pendapat mereka yang melarang perbuatan talfiq, dapat mengarah kepada larangan bertaklid, yang pada dasarnya mereka sendiri mewajibkan taklid tersebut bagi orang-orang awam[8], meskipun kebanyakan taklid itu bukan merupakan bentuk talfiq. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip yang berbunyi perbedaan pendapat para imam adalah rahmat bagi umat [9]. Juga bertentangan dengan prinsip kemudahan dan kelonggaran serta menghilangkan perkara yang memberatkan dan kondisi yang menyulitkan, yang merupakan asas bangunan syari’at Metode Penetapan Lawannya Itsbatul Aks. Dengan anggapan membenarkan dan menerima pendapat yang melarang talfiq, maka tampaklah dari ketetapan para ulama itu, bahwa tidaklah ada keharusan berpegang kepada madzhab tertentu dalam seluruh permasalahan, sebagaimana telah dijelaskan. Dan seseorang yang tidak berpegang kepada madzhab tertentu, maka dibolehkan melakukan talfiq. Jika tidak demikian, maka akan mengakibatkan kesimpulan pembatalan peribadahan orang-orang awam, karena –pada kenyataannya- kita hampir tidak mendapati seorang yang awam mengerjakan suatu ibadah yang benar-benar sesuai dengan madzhab tertentu. Adapun persyaratan yang mereka sebutkan tentang keharusan memperhatikan perbedaan dalam lintas madzhab, bila seseorang bertaqlid kepada satu madzhab atau meninggalkan madzhabnya –yang terdahulu- dalam suatu masalah, maka hal ini perkara yang menyulitkan, baik dalam masalah-masalah ibadah maupun mu’amalah. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip kelonggaran dan kemudahan syari’at serta kecocokakannya dengan seluruh kemaslahatan manusiaContohnya, seseorang yang berwudhu dan mengusap kepalanya –dengan bertaqlid kepada madzhab Imam Asy Syafi’i- maka wudhunya sah. Kemudian, apabila dia menyentuh kemaluannya setelah itu dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah, maka shalatnya sah. Karena wudhunya orang yang bertaklid ini sah menurut kesepakatan, hal itu disebabkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah. Dan seperti ini tidak dikatakan bahwa wudhunya tidak sah karena dianggap batal oleh masing-masing dari dua madzhab tersebut; karena dua masalah tersebut terpisah antara satu dengan yang lain. Wudhu tersebut awalnya telah sempurna dengan bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i, sampai kemudian menyentuh kemaluannya dan dia meneruskan tetap dalam keadaan memiliki wudhu dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah. Maka taklid kepada madzhab Abu Hanifah hanyalah sekedar melanjutkan apa yang sudah sah, bukan pada permulaan klaim sebagian pengikut madzhab Hanafi[10], bahwa telah ada ijma’ yang melarang melakukan talfiq, maka bisa jadi cuma ditinjau dari kesepakatan para pengikut madzhab ini saja Hanafiah, atau mengacu kepada mayoritas ulama, atau berdasarkan apa yang didengar, atau cuma prasangka zhan saja. Karena, jika masalah tersebut sudah merupakan ijma’, seharusnya para fuqaha madzhab-madzhab lain pun akan menjelaskan adanya ijma’ tersebut, tidak cukup hanya dengan diamnya mereka dan kemungkinan saja. Dan tidak ada bukti terkuat yang menunjukkan secara jelas perihal tidak adanya ijma’ yang melebihi keberadaan penentangan banyak ulama muta`akhirin terhadapnya larangan talfiq[11].Al Kamal bin Al Hammam dalam At Tahrir –dan diikuti oleh muridnya Ibnu Amir Al Hajj[12]– menyatakan “Sesungguhnya seorang awam yang bertaklid dibolehkan untuk bertaklid kepada siapa yang disukainya[13]. Dan jikalau seorang yang awam mengambil pendapat mujtahid yang paling ringan baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak mengetahui ada dalil naqli maupun aqli yang melarangnya. Dan ketika seseorang awam mencari-cari yang paling ringan baginya dari pendapat seorang mujtahid –yang berhak berijtihad-, saya tidak mengetahui dari unsur syari’at ini yang mencelanya, sementara Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyukai sesuatu yang meringankan umatnya”.Adapun kalau dua imam tersebut sepakat mengenai batalnya amal pelaku talfiq, maka ini merupakan pendapat yang tidak didukung oleh hujjah. Karena orang yang bertaklid tersebut tidaklah bertaklid kepada keduanya dalam keseluruhan amal. Namun hanya bertaklid kepada salah satu dari dua imam dalam masalah tertentu, yang dalam hal itu, dia tidak bertaklid kepada yang lain, maka hal seperti ini tidak mengapa. Sedangkan keseluruhan amal tidak ada seorang pun yang mengharuskan untuk menelitinya, tidak dalam hal ijtihad maupun dalam hal taklid. Tetapi ini hanya merupakan mengada-adakan satu hukum syari’at dari seseorang yang tidak berhak untuk Abidin menyampaikan pernyataannya dalam Tanqih Al Hamidiyah yang intinya, bahwa dalam angan-angan seorang mufti terdapat petunjuk tentang kebolehan hukum gabungan, dan Syaikh Ath Thursusi juga membolehkannya, begitu pula Allamah Abu As Su’ud memfatwakan kebolehannya dalam fatwanya. Demikian juga ketetapan Ibnu Nujaim dalam risalahnya yang berjudul Fi Bai’il Waqfi Bi Ghabnin Fahisys, bahwa menurutnya pendapat dalam madzhab adalah kebolehan melakukan talfiq, sebagaimana juga yang dinukil dari Al Fatawa Al Bazaziyah. Sedangkan Ibnu Arafah Al Maliki membenarkan kebolehannya dalam Al Hasyiah Ala Asy Syarh Al Kabir. Allamah Al Adawi dan yang lainnya juga memfatwakan kebolehannya, karena itu merupakan bentuk kelonggaran.[14]Dan Jumhur ulama –di antaranya sebagian ulama madzhab Syafi’iyah- berpendapat bahwa Ijma’ yang dinukil oleh orang per orang –seperti yang diklaim untuk masalah ini- tidak harus diamalkan karena hakikatnya bukan ijma’, Pent.. Apalagi –dalam hal ini- mengklaim adanya ijma’ dilarang. Karena kenyataannya para ulama terpercaya telah menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti Al Amir dan Al Baijuri. Dan Asy Syafsyawani menyinggung tentang penggabungan suatu masalah dari dua madzhab atau lebih dengan berkata “Sesungguhnya para ahli ushul berselisih pendapat dalam masalah ini, tetapi yang benar –menurut penelitian- adalah dibolehkan melakukan talfiq”.Kesimpulannya, bahwa agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan pendapat yang membolehkan talfiq termasuk dalam kategori memudahkan manusia khususnya orang-orang awam, Pent.. Allah Azza wa Jalla berfirman وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍDia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [Al Hajj/22 78].يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاًAllah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An Nisa/4 28].يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَAllah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah/2 185].Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaبُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِAku telah diutus dengan membawa agama Islam yang lurus lagi mudah.[15]Talfiq yang Dilarang Kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas dalam ruang lingkup tertentu. Karena ada bentuk talfiq yang serta merta batil menurut bentuknya, seperti bila talfiq tersebut menjurus kepada penghalalan perkara-perkara yang diharamkan secara qath’i atau pasti seperti khamr miras, zina dan dll. Dan ada yang dilarang bukan menurut dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang mencampurinya sehingga yang asalnya boleh, menjadi terlarang, Pent.. Jenis kedua ini ada tiga macam.[16]Menyengaja hanya mencari-cari yang paling ringan tatabbu’ ar rukhash. Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri dari beban-beban syari’at. Al Ghazali berkata,”Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam –juga- tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan, Pent. …… ”[17]. Dan tentunya masuk ke dalam macam ini, yaitu mencari-cari hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil pendapat yang lemah dari setiap madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa yang mengakibatkan penolakan hukum ketetapan atau keputusan hakim pemerintah, karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi terjadinya yang mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara taklid, atau meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang keadaan pertama. Kalau ada seorang yang faqih paham tentang agama berkata kepada isterinya “Saya mentalakmu selamanya” dan ia berpendapat bahwa -dengan lafadz seperti itu- telah jatuh talak tiga, maka ia melaksanakan pendapatnya berkaitan antara dirinya dan isterinya tersebut, dan ia berketetapan bahwa isterinya telah haram baginya. Kemudian setelah itu dia berpendapat bahwa talaknya tersebut adalah talak raj’i, namun ia tetap melaksanakan pendapatnya yang pertama yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak mau mengembalikan isterinya yang telah ditalaknya sebagai isterinya lagi dengan pendapat terbarunya itu. Hal ini terlarang, karena dia masih menyisakan pendapat pertama, sementara itu dia sudah mengambil pendapat kedua dalam masalah yang keadaan kedua. Jika seorang laki-laki bertaklid kepada Imam Abu Hanifah dalam pendapatnya tentang sahnya pernikahan tanpa wali si wanita[18], maka aqad pernikahan tersebut meluluskan pengesahan jatuhnya talak, karena hal itu satu konsekuensi sahnya pernikahan menurut ijma’. Lalu, jika laki-laki tersebut menjatuhkan tiga talak terhadap isterinya, kemudian dia ingin bertaklid kepada Imam Asy Syafi’i yang berpendapat tidak ada talak yang jatuh, karena pernikahannya tersebut tanpa wali yang menurut beliau tidak sah, Pent. [19], maka tidak boleh dia melakukan –talfiq- seperti itu, karena dia meninggalkan taklidnya dalam perkara wajib yang telah disepakati[20].Hal itu lebih ditujukan untuk menjaga masalah nasab daripada mempertimbangkan aspek lainnya. Karena, jika tidak begitu, maka akan menghasilkan konsekuensi bahwa hubungan yang telah dilakukan antara keduanya adalah hubungan haram zina dan anak-anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut adalah anak-anak zina. Maka harus ditutup setiap pintu yang dapat mengarahkan kepada upaya rekayasa tahayul seperti itu dalam segala masalah yang besar, seperti masalah pernikahan atau dalam setiap perkara yang menyudutkan agama sebagai obyek mainan atau merugikan manusia atau kerusakan di atas muka dalam urusan peribadahan dan beban-beban syari’at yang tidak ada kesempitan untuk para hambaNya, maka tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun akan mengakibatkan ditinggalkannya perkara yang telah diamalkan atau ditinggalkannya perkara wajib karena perkara wajib lainnya berdasarkan ijma’, selama tidak menjurus kepada pembebasan diri dari ikatan beban-beban syari’at, atau mengarah kepada penghapusan hikmah ditetapkannya syari’at dengan cara mengikuti setiap hilah rekayasa yang dapat merubah atau menghilangkan maksud syari’ Talfiq Dalam Beban-beban Sya’riat Takalif Asy-Syar’iyyah Di atas telah dijelaskan bahwa ruang lingkup talfiq hanyalah dalam perkara-perkara furu’ cabang yang bersifat zhanni yang dibolehkan terjadi ijtihad, yaitu dalam perkara-perkara yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Adapun berkaitan dengan urusan aqidah, keimanan dan akhlak serta perkara-perkara yang prinsip agama ini, maka tidak dapat dimasuki oleh talfiq. Karena tidak boleh ada taklid padanya menurut kesepakatan ulama, juga bukan termasuk wilayah ijtihad yang akan mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat –yang menjadi dasar bagi taklid dan talfiq ini sangat mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu’, maka harus ada perincian mengenai hukum masalah-masalah furu’ tersebut. Perkara-perkara furu’ dalam syari’at terbagi menjadi tiga jenis.[21]Perkara-perkara furu’ yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai ragamnya yang disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf orang yang dibebani syari’at.Perkara-perkara furu’ yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan mencari yang paling furu’ yang berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para yang pertama, adalah ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di dalamnya jika diperlukan, karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan tunduk kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh terjadi sikap berlebihan dalam hal ini. Karena sikap berlebihan melampaui batas akan menjerumuskan kepada ibadah-ibadah maliyah dengan harta, maka haruslah diperketat untuk kehati-hatian, karena dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang lemah atau menggabungkan pendapat dari setiap madzhab yang lebih tidak menjamin keutuhan hak kaum fakir. Dalam masalah ini, seorang mufti pemberi fatwa hendaknya mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati selamat dan paling kondusif, dengan tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta fatwa mustafti dan apakah dia termasuk orang-orang yang punya kepentingan tertentu mendesak atau jenis kedua, yaitu kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu pada kehati-hatian ihtiyath dan mengambil pendapat yang paling selamat wara’[22] dengan meninggalkan syubhat sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat bahaya. Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan darurat terpaksa menurut kacamata syari’at. Sebab kondisi darurat terpaksa membolehkan mengambil yang dilarang. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْApa yang kularang hendaklah kalian jauhi tinggalkan; dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian kerjakan sekuat kemampuan kalian.[23]Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat kemampuan, sementara larangan dimutlakkan tidak diikat, demi menolak madharat dari perkara yang dilarang tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada hadits دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَTinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.[24]Adapun larangan-larangan yang berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh melakukan talfiq di dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta mencegah gangguan dan menganiaya orang lain. Maka tidak boleh melakukan talfiq dalam hal tersebut, karena merupakan bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan menentang hak orang dan merugikan jenis ketiga, yaitu jenis mu’amalah interaksi antara manusia, hukuman pidana hudud, menunaikan kewajiban harta dan dan hukum yang integral dengannya, seperti mufaraqah pemisahan hubungan antara suami isteri itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan suami-isteri dan anak-anak. Hal ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan pernikahan tersebut dan terciptanya kehidupan yang baik dalam keluarga, sebagaimana yang telah ditetapkan Al Qur`an Al Karimفَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍSetelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. [Al Baqarah/2 229].Jadi, setiap perkara yang mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam sebagian kasus akan menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq tidak dijadikan sebagai obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan talak, dengan tetap memperhatikan kaidah syari’at, yaitu bahwa “hukum asal pernikahan atau perkawinan adalah haram”[25] kecuali yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syari’at, Pent., demi menjaga hak-hak kaum wanita dan keturunan. Dan bila hal tersebut mempermainkan hukum dalam pernikahan di atas terjadi, maka talfiq menjadi masalah mu’amalah, menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud hukum pidana dan perlindungan darah manusia serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan kemaslahatan dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap madzhab, pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu akan mencerminkan usaha untuk mendukung kemaslahatan yang diinginkan oleh syariat. Ditambah lagi, karena kemaslahatan-kemaslahatan manusia berubah seiring dengan perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban mereka. Dan batasan maslahah adalah, setiap perkara yang menjamin perlindungan terhadap lima prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; serta perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syari’at, baik melalui Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah maqbulah yang bisa diterima.Kesimpulannya, batasan dibolehkan atau tidaknya melakukan talfiq adalah, bahwa setiap perkara yang dapat mengacaukan landasan-landasan syari’at dan dapat menghancurkan aturan dan hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal itu sekedar hiyal rekayasa belaka untuk melepaskan diri dari beban syari’at, pent.. Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan, hikmah dan aturan syari’at untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi kemudahan kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin segala kemaslahatan untuk mereka dalam urusan mu’amalah interaksi antara mereka, maka hal itu dibolehkan, bahkan merupakan tambahan, pemberlakuan talfiq hanya dibolehkan saat dibutuhkan atau dalam kondisi darurat terpaksa saja, bukan bertujuan untuk mempermainkan hukum agama atau mencari-cari pendapat yang paling mudah dan ringan dengan sengaja tanpa ada maslahah yang dilegalkan syariat. Dan lagi, itupun terbatas pada sebagian hukum peribadahan dan mu’amalah yang bersifat ijtihadi yang dibolehkan terjadinya perbedaan pendapat dan bukan bersifat qath’i pasti.Wallahu A’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lisanul Arab 10-330-331 [2] Hal itu bila dalam satu masalah seseorang mengamalkan dua pendapat sekaligus atau mengamalkan salah satunya dengan menyisakan pengaruh pendapat lainya. [3] Umdatut Tahqiq, hlm. 101 [4] Masalah ijtihadi yaitu masalah yang diperselisihkan, disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan cara pandang terhadap suatu dalil syar’i dari Al Qur’an maupun Sunnah yang mengandung dua kemungkinan makna atau lebih Pent. [5] Yang terjauh dari dua masa iddah, yakni mana yang paling lama antara waktu 4 bulan 10 hari atau waktu melahirkan kandungan. pent. [6] Sebenarnya ada perbedaan antara masalah memunculkan pendapat ketiga dengan masalah talfiq. Pertama, karena pembahasan tentang memunculkan pendapat ketiga bisa berlaku bila masalahnya sama, sedangkan talfiq ada dalam masalah yang berbeda. Kedua, menurut pendapat yang terpilih, tidak ada kesepakatan dalam masalah talfiq ini. Maka menggosok anggota tubuh dalam wudhu merupakan masalah yang diperselisihkan di antara para imam, dan batalnya wudhu karena menyentuh wanita merupakan masalah lain. Kedua masalah ini masing-masing diperselisihkan, maka melakukan talfiq pada keduanya tidak merusak apa yang menjadi kesepakatan. Jadi, qiyas analogi di atas ada perbedaannya artinya masalah tersebut tidak dapat diqiyaskan dengan yang lain karena ada perbedaan, pent.. Lihat Abhats Al Mu’tamar Al Awwal Li Majma’ Al Buhuts, hlm. 95. [7] Lihat pembahasan ini dalam kitab Umdatut Tahqiq Fi At Taqlid Wat Talfiq, hlm. 92-110, dengan perubahan [8] Yakni dalam keadaan darurat terpaksa tatkala seseorang terutama yang awam tidak mengetahui atau tidak memperoleh hujjah dalil dari Al Qur’an atau Sunnah tentang suatu masalah. pent. [9] Hadits yang berbunyi اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ – “perselisihan umatku adalah rahmat” adalah hadits palsu dan bahkan tidak memiliki asal dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lihat Dha’if Al Jami’ no. 230, karya Syaikh Al Albani رحمه الله. pent. [10] Lihat catatan Al Mufti dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 1/69 dan setelahnya, serta Al Ihkam Fi Tamyiz Al Fatawa An Al Ahkam, karya Al Qarafi, hlm. 250 dan setelahnya [11] Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 106 dan setelahnya. [12] At Tahrir beserta syarahnya, 3/350 dan berikutnya. [13] Hal itu jika ia betul-betul terpaksa karena tidak mengetahui dalil masalah tersebut, Pent. [14] Hasyiyah Ad Dasuqi Ala Asy Syarh Al Kabir, 1/20. [15] Lafadz penggalan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, dengan banyaknya jalur periwayatan dan pendukungnya, dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2924. Silahkan lihat takhirj hadits ini yang beliau jelaskan. Pent. [16] Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 121 [17] Al Mustashfa 2/125. [18] Pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal ini lemah, karena bertentangan dengan hadits yang shahih لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ Tidak sah nikah tanpa wali. HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Abu Musa Radhiyallahu anhu ; Diriwayatkan pula dari sahabat lain yaitu dari Ibnu Abbas –رضي الله عنهما– Aisyah رضي الله عنها dan Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu. Lihat Shahih Al Jami’ no. 7555, 7556, 7557 dan 7558. pent. [19] Karena talak tersebut terjadi bukan secara kebetulan, lalu ia ingin mengikat akad baru dengan wanita tersebut. [20] Yakni bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hal ini tidak boleh bukan karena adanya talfiq saja, tetapi juga karena perihal meninggalkan pendapat yang telah diikuti dengan taklid sebelumnya setelah mengamalkannya dengan masih menyisakan pendapat lamanya tersebut padahal dia telah mengambil pendapat lain yang baru. [21] Umdatut Tahqiq, hlm. 127 dan berikutnya [22] Wara’ yaitu menahan diri dari perkara-perkara meragukan syubhat karena khawatir dan takut kepada Allah Azza wa Jalla, kemudian digunakan juga untuk menahan diri dari yang hal mubah. [23] Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [24] HR Tirmidzi dan An Nasa-i dari Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib, dan Tirmidzi berkata “Hadits hasan shahih.” Lihat Shahih Al Jami’, no. 3377 dan 3378. [25] Al Asybah Wa An Nazhair, karya Ibnu Nujaim 1/98 dan berikutnya, Al Asybah oleh As Suyuthi 67 dan berikutnya. Maksud kaidah tersebut ialah, wanita yang akan dinikahi pada asalnya diharamkan bagi seorang laki-laki sampai terjadi pernikahan yang sah, Pent.. Masuk pula dalam hal ini, setiap cara untuk menikmati wanita yang diharamkan.
4 Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan.
ADVERTISEMENT CONTINUE READING BELOW Para ulama’ dan pakar/ahli dalam bidang ilmu Al-Qur’an telah mendefinisikan Al-Qur’an menurut pemahaman mereka masing-masing, baik secara etimologi maupun terminologi. Secara etimologi para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa pendapat tersebut. a. Menurut Al-Lihyany w. 215 H dan segolongan ulama lainKata Qur’an adalah bentuk masdar dari kata kerja fi’il, قَرَأَ artinya membaca, dengan perubahan bentuk kata/tasrif قَرَأَ-يَقْرَأُ-قُرْءَانًا. Dari tasrif tersebut, kata قُرْءَانًا artinya bacaan yang bermakna isim maf’ul مَقْرُوْءٌ artinya yang dibaca. Karena Al-Qur’an itu dibaca maka dinamailah Al-Qur’an. Kata tersebut selanjutnya digunakan untuk kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT sebagaimana yang termaksud dalam QS. al-Qiyamah ayat 17-18. Artinya17. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya di dadamu dan Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. b. Menurut Al-Asy’ari w. 324 H dan beberapa golongan lainKata Qur’an berasal dari lafaz قَرَنَ yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Kemudian kata tersebut dijadikan sebagai nama Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, mengingat bahwa surat-suratnya, ayat-ayatnya dan huruf-hurufnya beriring-iringan dan yang satu digabungkan kepada yang lain. c. Menurut Al-Farra’ w. 207 HKata Qur’an berasal dari lafak قَرَائِنٌ merupakan bentuk jama’ dari kata قَرِيْنَةٌ yang berarti petunjuk atau indikator, mengingat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling membenarkan. Dan kemudian dijadikan nama bagi Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. d. Menurut Az-Zujaj w. 331 HKata Qur’an itu kata sifat dari اَلْقَرْءُ yang sewazan seimbang dengan kata فُعْلاَنٌ yang artinya الْجَمْعُ kumpulan. Selanjutnya kata tersebut digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., karena Al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan inti sari dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. e. Menurut Asy-Syafi’i w. 204 HKata Al-Qur’an adalah isim ’alam, bukan kata bentukan isytiqwq dari kata apapun dan sejak awal memang digunakan sebagai nama khusus bagi kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana halnya dengan nama-nama kitab suci sebelumnya yang memang merupakan nama khusus yang diberikan oleh Allah SWT. sama halnya nama kitab suci sebelumnya, yaitu Zabur Nabi Dawud as., Taurat Nabi Musa as. dan Injil Nabi Isa as.. Menurut Abu Syuhbah dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal li Dirasah Al-Qur’an al-Karrm, dari kelima pendapat tersebut diatas, pendapat pertamalah yang paling tepat yakni menurut Al-Lihyany yang menyatakan bahwa kata Al-Qur’an merupakan kata bentukan isytiqaq dari kata قَرَأَdan pendapat inilah yang paling masyhur. Ditinjau dari pengertian secara terminologi, para ulama’ juga berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan Al-Qur’an. Perbedaan itu terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dan perbedaan dalam menyebutkan unsur-unsur, sifat-sifat atau aspek-aspek yang terkandung di dalam Al-Qur’an itu sendiri yang memang sangat luas dan komprehensif. Semakin banyak unsur dan sifat dalam mendefinisikan Al-Qur’an, maka semakin panjang redaksinya. Namun demikian, perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat prinsipil, justru perbedaan pendapat tersebut bisa saling melengkapi satu sama lain, sehingga jika pendapat-pendapat itu digabungkan, maka pemahaman terhadap pengertian Al-Qur’an akan lebih luas dan komprehensif. Beberapa pendapat ulama’ mengenai definisi Al-Qur’an secara terminologi di antaranya adalah a. Syeikh Muhammad Khuiari BeikDalam kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islwm, Syeikh Muhammad Khuiari Beik mengemukakan definisi Al-Qur’an sebagai berikutاَلْقُرْءَانُ هُوَ اللَّفْظُ الْعَرَبِيُّ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلتَّدَبُّرِ وَالتَّذَكُّرِ الْمَنْقُوْلُ مُتَوَاتِرًا وَهُوَ مَا دَفَّـتَيْنِ الْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ الْفَـاتِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّـاسِArtinya “Al-Qur’an ialah lafaz firman Allah yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Muhammad SAW., untuk dipahami isinya dan selalu diingat, yang disampaikan dengan cara mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, yang dimulai dengan surat al-Fwtihah dan diakhiri dengan surat an-Nas”. b. Subkhi aalih Subkhi aalih mengemukakan definisi Al-Qur’an sebagai berikut اَلْقُرْءَانُ هُوَ الْكِتَابُ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِArtinyaAl-Qur’an adalah kitab Allah yang mengandung mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang ditulis dalam mushaf-mushaf, yang disampaikan secara mutawatir, dan bernilai ibadah membacanya. c. Syeikh Muhammad AbduhSedangkan Syeikh Muhammad Abduh mendefinisikan Al-Qur’an dengan pengertian sebagai berikut اَلْكِتَابُ هُوَ الْقُرْءَانُ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَحْفُوْظُ فِيْ صُدُوْرِ مَنْ عَنَى بِحِفْظِهِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَArtinyaKitab Al-Qur’an adalah bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang terpelihara di dalam dada orang yang menjaganya dengan menghafalnya yakni orang-orang Islam. Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan beberapa unsur dalam pengertian Al-Qur’an sebagai berikut a. Al-Qur’an adalah firman atau kalam Allah Al-Qur’an terdiri dari lafaz berbahasa Arabc. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang mengandung mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW yang diturunkan dengan perantara malaikat Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir berkesinambungan.f. Al-Qur’an merupakan bacaan mulia dan membacanya merupakan Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf, yang diawali dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nash. Al-Qur’an senantiasa terjaga/terpelihara kemurniannya dengan adanya sebagian orang Islam yang menjaganya dengan menghafal Al-Qur’an. B. Nama-nama Al-Qur’anNama Al-Qur’an bukanlah satu-satunya nama yang diberikan Allah Swt. terhadap kitab suci yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Menurut Az-Zarkasyi dan As-Suyuhy dalam kitab Al-Itqwn menyebutkan bahwa Al-Qur’an mempunyai 55 nama. Bahkan dalam Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, disebutkan ada 78 nama-nama bagi kitab suci Al-Qur’an. Namun, jika diperhatikan dan dicermati lebih lanjut berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an secara redaksional, maka akan didapatkan beberapa nama saja, yang lainnya bukanlah nama melainkan hanya sifat, fungsi atau indikator Al-Qur’an. Beberapa nama Al-Qur’an tersebut adalah a. Al-Qur’an اَلْقُرْءَانُAl-Qur’an merupakan nama yang paling populer dan paling sering dilekatkan pada kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, Al-Qur’an artinya bacaan atau yang dibaca. Adapun beberapa ayat yang di dalamnya terdapat istilah Al-Qur’an adalah sebagai berikut QS. al-Baqarah [2] 185 Artinya “Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang batil. …..” QS. al-A’rwf [7] 204 Artinya “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” QS. Thwha/20 2 Artinya “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu Muhammad agar engkau menjadi susah” Di samping nama Al-Qur’an yang telah disebut dalam ayat-ayat di atas masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat nama Al-Qur’an, seperti QS. Yunus [10] 37, QS. al-Hijr [15] 87, QS. an-Nahl [16] 97, QS. al-Hijr [17] 9, QS. al-Hasyr [59] 21, dan QS. al-Buruj [85] 21. b. Al-Kitab اَلْكِتَابُAl-Qur’an sering disebut sebagai Kitwbullah artinya kitab suci Allah. Al-Kitwb juga bisa diartikan yang ditulis. c. Al-Furqwn اَلْفُرْقَانAl-Furqwn artinya pembeda, maksudnya yang membedakan antara yang haq dan yang batil. Al-Furqan merupakan salah satu nama Al-Qur’ Ak- jikr اَلذكْرAk-jikr berarti pemberi peringatan, maksudnya yang memberi peringatan kepada At-Tanzrl اَلتَّنْزِيْلُAt-Tanzrl artinya yang diturunkan, maksudnya Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaan malaikat Jibril as. untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. C. Perilaku Orang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’anAl-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah Swt, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia. Kita sebagai seorang muslim harus meyakini tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yang berkaitan dengan iman kepada Allah Swt, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan seseorang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an kita harus memiliki budi pekerti yang luhur karena Al-Qur’an berisikan tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika seorang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an kita harus melaksanakan ibadah karena Al-Qur’an berisikan tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan seorang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an kita harus bergaul dengan sesama dengan baik sebab Al-Qur’an berisi tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.
KataAlquran berasal dari kata lafaz yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain adalah pernyataan - 20615732 niya59 niya59 10.12.2018 B. Arab Jawabannya Kata Qur'an berasal dari lafaz قَرَنَ yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Pendapat tersebut menurut Imam Al-Asy'ari dan beberapa golongan lain makasih
Yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara terdapat dalam? pasal 26 ayat 1 UUD 1945 pasal 27 UUD 1945 pasal 28 UUD 1945 pasal 29 UUD 1945 Semua jawaban benar Jawaban A. pasal 26 ayat 1 UUD 1945 Dilansir dari Encyclopedia Britannica, yang menjadi wni adalah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara terdapat dalam pasal 26 ayat 1 uud 1945. Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu Bela negara dapat terwujud bila dilandasi oleh adanya tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut didasarkan oleh, kecuali? beserta jawaban penjelasan dan pembahasan lengkap.
yVzeGt. 409 164 131 307 257 290 369 318 485